Meskipun dilanda pandemi, namun dalam hitungan yang belum genap setahun, para peneliti Indonesia berjaya menghasilkan puluhan produk inovasi terkait Covid-19 itu. Setidaknya menurut Kemenristek, saat itu tercatat lebih dari 60 produk inovasi yang dihasilkan. Kementerian yang akhirnya ‘hilang’ ini juga menuturkan publikasi ilmiah juga melonjak. Baik berupa artikel di jurnal ataupun conference paper. Bahkan rilis Scimago Journal & Country Rank yang terakhir (2021), Indonesia bertengger pada peringkat 21 dunia. Dahsyat!

Perguruan Tinggi (PT) sebagai pemain utama di bidang ini, tentu berharap berbagai hambatan yang ada itu segera diselesaikan melalui kebijakan yang tepat. Mengingat dengan capaian-capaian yang diantaranya tertulis di atas itu, kita seharusnya mulai bergegas untuk menghilangkan gap antara riset dengan kebutuhan industri. Tidak lagi harus berjibaku dalam tataran kuantitas dokumen. Tetapi jalannya harus selalu diangonkan pada hilirisasi hasil riset.

Jika ditekuni, hilirisasi ini mempunyai dampak sosial yang luar biasa. Profil peneliti tidak hanya sebatas ‘pengumpul paper’ semata. Nilai kemanfaatan nyalah yang harus dikejar. Lanjutannya pemerintah sangat berperan untuk mengeksekusi agar nilai kemanfaatan tersebar dan berdampak positif bagi kehidupan.
Salah langkah atau menghambat perkembangan atas hasil riset maupun inovasi yang dihasilkan tidak hanya akan membuat kemandekan jalan penelitian-penelitian selanjutnya. Para peneliti juga akan berpikir ulang untuk memberikan sumbangsihnya bagi bangsa.

Toh pada akhirnya tidak dihargai atau mati sebelum diproduksi. Adanya malah berpeluang bagi negara luar untuk membeli hasil-hasil karya anak bangsa itu. Tentunya membeli untuk pasarkan kembali. Ujungnya bahan mentah terus diekspor, sementara Indonesia tidak bergerak posisinya hanya sebagai pasar terbesar yang adiktif atas produk-produk impor.

Apresiasi dan dukungan pemerintah atas berbagai temuan dari hasil riset juga bisa mendorong masyarakat untuk terlibat lebih jauh. Keterlibatan masyarakat tidak hanya menjadikan produk itu semakin dikenal. Wujud kedaulatan bangsa itu juga bisa tercipta dengan menghadirkan kebanggaan terhadap produk dalam negeri. Kebangaan yang bukan polesan semata tentunya. Di media sosial posting aku cinta produk dalam negeri, tapi hobinya suka plesiran ke luar negeri hanya untuk membeli baju atau aksesoris buatan sana. Termasuk berobat di luar negeri.

Barangkali adanya hambatan atau proses menghalangi berkembangnya nilai kemanfaatan dari hasil-hasil riset bisa didalami sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Apalagi jika hasil karya itu sebenarnya berpengaruh signifikan bagi kemaslahatan bangsa. Misalnya dari sisi yang bisa diakses masyarakat langsung seperti bisa mengurangi angka pengangguran, terpenuhinya gizi seimbang, meminimalisir pengeluaran rumah tangga, terciptanya suasana ramah lingkungan, dan sejenisnya.

Mungkin tepat atau tidak konteks ‘melanggar hukum’ itu, para pakar hukum bisa mendiskusikannya lebih lanjut. Tujuannya hanya satu, agar hasil riset yang bahkan banyak mengorbankan energi, waktu, dan biaya itu tidak dipermainkan hanya sesuai dengan kepentingan bisnis jangka pendek. Termasuk kepentingan yang erat kaitannya dengan (keberlangsungan) kekuasaan.

Seandainya pokok persoalan komitmen dan tata seperti yang diuraikan di atas sudah tuntas. Pemerintah bisa memainkan perannya untuk mengintervensi agar hilirisasi riset itu optimal. Diantaranya melakukan pendampingan sekaligus evaluasi terhadap PT dalam melakukan kerja-kerja risetnya. Tetapi pola intervensi dan atau pendampingan ini cukup di tingkat outcome. Pemerintah tidak perlu masuk ke dalam proses yang membuat riset menjadi lebih ribet. Jangan sampai laporan administrasinya lebih tebal daripada risetnya itu sendiri.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah ini bisa memainkan perannya agar setiap riset dan tindaklanjutnya dilakukan dengan tata kelola yang efektif dan akuntabel. Tidak ada lagi tumpang tindih hasil penelitian yang akhirnya hanya menghabiskan anggaran namun tidak berdampak sama sekali. Semua topik riset sampai output/outcome bisa terdata. Sehingga dana yang dikucurkan tidak mubazir.

Disisi lain, Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) juga mulai harus terbuka atas kebutuhan dalam hal pengembangannya. Kolaborasi PT dan DUDI yang kuat dapat menjadi daya dukung bagi ketahanan bangsa. Banyak sektor yang bisa digerakkan. Apalagi saat ini tujuan global sudah pada satu prioritas utama yakni economy recovery. Harapannya dengan saling mengisi, perjalanan ekonomi yang terseret-seret ini menjadi terkendali. DUDI harus memilih produk dalam negeri daripada teknologi impor.

Apa yang perlu kita banggakan dengan hasil riset yang (katanya) fantastis, namun tidak berdampak pada masyarakat? Tanah kita subur tapi harga sembako terus naik dan bahkan menyasar pada kenaikan harga mie instan. Kita kaya SDM, tapi masyarakat belum menikmati murahnya Bahan Bakar Minyak. Alam kita asri, tetapi pencemaran lingkungan terus menghantui. Termasuk yang terakhir, kita banyak karya tapi yang diproduksi malah bukan made in Indonesia.

Jangan pernah bertanya lagi tentang keunggulan manusia-manusia di Indonesia. Berbagai pencapaian seperti tertulis pada paragraf awal itu saja sungguh sebuah pencapaian yang dahsyat. Pencapaian itu terjadi tidak hanya ketika saat hadirnya hambatan berupa wabah Covid-19. Lebih dari itu dan bukan sebuah rahasia lagi, para peneliti terus berjibaku di tengah dana riset yang masih minim. Permasalahan seperti pada gap universitas dan DUDI yang cenderung dibiarkan oleh pemerintah. Dalam magang bersertifikat bagi para mahasiswa itu sudah bagus, tetapi hal itu baru dari komponen pembelajaran. Bukan pada aspek hilir riset ke industri. Hal ini masih lemah.

Sekarang saatnya kita keluar dari ruang debat siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Saatnya kita habiskan energi untuk berkolaborasi mengoptimalkan apresiasi bagi peneliti serta hilirisasi hasil penelitiannya.
Kita bisa!
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)

Sumber

kumparan

The post Hilirisasi Riset, Dukungan Industri & Keberpihakan Pemerintah appeared first on Universitas Al Azhar Indonesia.

Meskipun dilanda pandemi, namun dalam hitungan yang belum genap setahun, para peneliti Indonesia berjaya menghasilkan puluhan produk inovasi terkait Covid-19 itu. Setidaknya menurut Kemenristek, saat itu tercatat lebih dari 60 produk inovasi yang dihasilkan. Kementerian yang akhirnya ‘hilang’ ini juga menuturkan publikasi ilmiah juga melonjak. Baik berupa artikel di jurnal ataupun conference paper. Bahkan rilis Scimago Journal & Country Rank yang terakhir (2021), Indonesia bertengger pada peringkat 21 dunia. Dahsyat!

Perguruan Tinggi (PT) sebagai pemain utama di bidang ini, tentu berharap berbagai hambatan yang ada itu segera diselesaikan melalui kebijakan yang tepat. Mengingat dengan capaian-capaian yang diantaranya tertulis di atas itu, kita seharusnya mulai bergegas untuk menghilangkan gap antara riset dengan kebutuhan industri. Tidak lagi harus berjibaku dalam tataran kuantitas dokumen. Tetapi jalannya harus selalu diangonkan pada hilirisasi hasil riset.

Jika ditekuni, hilirisasi ini mempunyai dampak sosial yang luar biasa. Profil peneliti tidak hanya sebatas ‘pengumpul paper’ semata. Nilai kemanfaatan nyalah yang harus dikejar. Lanjutannya pemerintah sangat berperan untuk mengeksekusi agar nilai kemanfaatan tersebar dan berdampak positif bagi kehidupan.
Salah langkah atau menghambat perkembangan atas hasil riset maupun inovasi yang dihasilkan tidak hanya akan membuat kemandekan jalan penelitian-penelitian selanjutnya. Para peneliti juga akan berpikir ulang untuk memberikan sumbangsihnya bagi bangsa.

Toh pada akhirnya tidak dihargai atau mati sebelum diproduksi. Adanya malah berpeluang bagi negara luar untuk membeli hasil-hasil karya anak bangsa itu. Tentunya membeli untuk pasarkan kembali. Ujungnya bahan mentah terus diekspor, sementara Indonesia tidak bergerak posisinya hanya sebagai pasar terbesar yang adiktif atas produk-produk impor.

Apresiasi dan dukungan pemerintah atas berbagai temuan dari hasil riset juga bisa mendorong masyarakat untuk terlibat lebih jauh. Keterlibatan masyarakat tidak hanya menjadikan produk itu semakin dikenal. Wujud kedaulatan bangsa itu juga bisa tercipta dengan menghadirkan kebanggaan terhadap produk dalam negeri. Kebangaan yang bukan polesan semata tentunya. Di media sosial posting aku cinta produk dalam negeri, tapi hobinya suka plesiran ke luar negeri hanya untuk membeli baju atau aksesoris buatan sana. Termasuk berobat di luar negeri.

Barangkali adanya hambatan atau proses menghalangi berkembangnya nilai kemanfaatan dari hasil-hasil riset bisa didalami sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Apalagi jika hasil karya itu sebenarnya berpengaruh signifikan bagi kemaslahatan bangsa. Misalnya dari sisi yang bisa diakses masyarakat langsung seperti bisa mengurangi angka pengangguran, terpenuhinya gizi seimbang, meminimalisir pengeluaran rumah tangga, terciptanya suasana ramah lingkungan, dan sejenisnya.

Mungkin tepat atau tidak konteks ‘melanggar hukum’ itu, para pakar hukum bisa mendiskusikannya lebih lanjut. Tujuannya hanya satu, agar hasil riset yang bahkan banyak mengorbankan energi, waktu, dan biaya itu tidak dipermainkan hanya sesuai dengan kepentingan bisnis jangka pendek. Termasuk kepentingan yang erat kaitannya dengan (keberlangsungan) kekuasaan.

Seandainya pokok persoalan komitmen dan tata seperti yang diuraikan di atas sudah tuntas. Pemerintah bisa memainkan perannya untuk mengintervensi agar hilirisasi riset itu optimal. Diantaranya melakukan pendampingan sekaligus evaluasi terhadap PT dalam melakukan kerja-kerja risetnya. Tetapi pola intervensi dan atau pendampingan ini cukup di tingkat outcome. Pemerintah tidak perlu masuk ke dalam proses yang membuat riset menjadi lebih ribet. Jangan sampai laporan administrasinya lebih tebal daripada risetnya itu sendiri.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah ini bisa memainkan perannya agar setiap riset dan tindaklanjutnya dilakukan dengan tata kelola yang efektif dan akuntabel. Tidak ada lagi tumpang tindih hasil penelitian yang akhirnya hanya menghabiskan anggaran namun tidak berdampak sama sekali. Semua topik riset sampai output/outcome bisa terdata. Sehingga dana yang dikucurkan tidak mubazir.

Disisi lain, Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) juga mulai harus terbuka atas kebutuhan dalam hal pengembangannya. Kolaborasi PT dan DUDI yang kuat dapat menjadi daya dukung bagi ketahanan bangsa. Banyak sektor yang bisa digerakkan. Apalagi saat ini tujuan global sudah pada satu prioritas utama yakni economy recovery. Harapannya dengan saling mengisi, perjalanan ekonomi yang terseret-seret ini menjadi terkendali. DUDI harus memilih produk dalam negeri daripada teknologi impor.

Apa yang perlu kita banggakan dengan hasil riset yang (katanya) fantastis, namun tidak berdampak pada masyarakat? Tanah kita subur tapi harga sembako terus naik dan bahkan menyasar pada kenaikan harga mie instan. Kita kaya SDM, tapi masyarakat belum menikmati murahnya Bahan Bakar Minyak. Alam kita asri, tetapi pencemaran lingkungan terus menghantui. Termasuk yang terakhir, kita banyak karya tapi yang diproduksi malah bukan made in Indonesia.

Jangan pernah bertanya lagi tentang keunggulan manusia-manusia di Indonesia. Berbagai pencapaian seperti tertulis pada paragraf awal itu saja sungguh sebuah pencapaian yang dahsyat. Pencapaian itu terjadi tidak hanya ketika saat hadirnya hambatan berupa wabah Covid-19. Lebih dari itu dan bukan sebuah rahasia lagi, para peneliti terus berjibaku di tengah dana riset yang masih minim. Permasalahan seperti pada gap universitas dan DUDI yang cenderung dibiarkan oleh pemerintah. Dalam magang bersertifikat bagi para mahasiswa itu sudah bagus, tetapi hal itu baru dari komponen pembelajaran. Bukan pada aspek hilir riset ke industri. Hal ini masih lemah.

Sekarang saatnya kita keluar dari ruang debat siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Saatnya kita habiskan energi untuk berkolaborasi mengoptimalkan apresiasi bagi peneliti serta hilirisasi hasil penelitiannya.
Kita bisa!
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)

Sumber

kumparan

The post Hilirisasi Riset, Dukungan Industri & Keberpihakan Pemerintah appeared first on Universitas Al Azhar Indonesia.