Dekade 70-an ketika Indonesia mulai hingar bingar dengan semangat pembangun, kabinet pun dinamakan Kabinet Pembangunan. Pada saat itu, dengan limpahan minyak bumi, Indonesia punya cukup uang untuk kegiatan-kegiatan bernuansa pembangunan. Salah satu kegiatan yang mudah dan bisa disebut “intelek” adalah seminar.
Di kampus pun, mahasiswa S1 saat itu terlihat bangga bila terlihat aktif seminar. Saking seringnya seminar, sampai ada anekdot. Bila kita ingin menuju bulan, kumpulkan semua makalah seminar, maka akan sampai ke bulan.
Saat ini sepertinya kebiasaan seminar itu mulai menjalar kembali. Bahkan terlihat lebih masif dengan adanya teknologi digital yang bisa memfasilitasi kegiatan-kegiatan virtual. Awalnya dipicu oleh pandemi covid19 di bulan Maret 2020. Pada saat itu memang kegiatan-kegiatan kontak fisik dilarang atau setidaknya dikurangi. Proses pembelajaran mulai dari TK sampai PT (Perguruan Tinggi) dilakukan secara daring alias online. Kelas daring jadi pilihan.
Terlepas dari keperluan kuliah virtual yang tidak bisa dielakkan, ternyata model ini bagaikan jamur di musim hujan. Sepertinya tidak saja di Indonesia, negara maju pun cukup marak dengan seminar virtual ini. Bahkan di US sempat ada video pendek seseorang yang jalan sempoyongan, berdasi tapi celana pendek. Mirip seperti orang mabuk, bukan terlalu banyak minum bir, tapi “too many virtual meetings”.
Saat ini, dimana kelas tatap muka sudah mulai diperbolehkan, tidak sedikit dosen dan mahasiswa meminta kelas daring. Sebagai jalan keluarnya, banyak kampus yang memberlakukan pola campuran antara daring dan luring. Jadi ada mahasiswa masuk kelas, ada mahasiswa belajar dari rumah atau lokasi-lokasi lainnya.
Kreativitas dosen dan tenaga pendukung kampus untuk melakukan pembelajaran campuran patut diacungi jempol. Mereka sudah mulai terbiasa dengan penyediaan bahan ajar yang kreatif dan inovatif. Mahasiswa tentu sangat biasa memanfaatkan teknologi digital. Karena mereka umumnya penduduk digital.
Untuk mahasiswa senior, bila diberikan pilihan, umumnya memilih kelas daring daripada luring. Untuk kelas-kelas campuran, terpaksa dibuat regulasi wajib hadir secara bergiliran. Bila tidak, bisa jadi hanya dosennya yang hadir sementara mahasiswanya berada di ruang virtual semua.
Kelebihan kelas virtual ini juga dalam hal menjangkau dosen atau nara sumber dari luar. Termasuk dosen di luar negeri. Pada umumnya mereka bersedia menjadi dosen tamu atau narasumber virtual sejauh waktunya tidak tabrakan.
Terlepas dari hal-hal positif efek dari virtualisasi kelas ini, ada juga kelemahannya. Salah satunya, pertemuan virtual ini menjadi sangat padat. Bisa berupa pertemuan, rapat, dan webinar-webinar. Sehingga para peserta sering menggunakan lebih dari 2 saluran. Mereka yang punya 2 gadget dan 1 laptop, sering ketiga alat itu dipakai semuanya.
Dari segi perolehan informasi, apalagi ilmu, situasi ini tidak kondusif. Sulit seseorang dapat menerima informasi dengan baik dan utuh untuk hal yang berbeda dari saluran yang berbeda-beda. Akhirnya cenderung formalitas. Dan ujung-ujungnya hanya mengisi daftar hadir untuk memperoleh sertifikat, bukan informasi yang substantif.
Apalagi bila dikaitkan dengan keperluan masyarakat. Tentunya mereka tidak cukup hanya dengan semakin banyaknya webinar. Tetapi kegiatan nyata non-virtual tetap diperlukan. Apalagi sektor ril.
Intinya, kegiatan virtual sangat bermanfaat bila dipergunakan secara bijak dan wajar. Bila sudah kebanyakan, akhirnya jadi mubazir. Alat, kuota, listrik/baterai tetap dipakai tetapi perolehan ide, informasi, apalagi ilmu itu minimal.
Memang tidak ada larangan dalam hal kuantifikasi pertemuan virtual ini. Tetapi lembaga-lembaga pemerintah perlu membuat regulasi agar unit-unit di bawah lembaga itu jangan sampai jor-joran mengadakan kegiatan virtual. Sehingga karyawan dari pagi sampai malam kerjanya di depan gadget terus.
Sumber
The post Kebanyakan Seminar appeared first on Universitas Al Azhar Indonesia.