Assalamu’alaikum wr wb.
Pada hari Rabu (20 April 2019) perwakilan dosen Teknologi Pangan Universitas Al Azhar Indonesia mengikuti pelatihan mengenai “Pengetahuan Titik Kritis Bahan” yang diselenggarakan oleh IHATEC (Indonesia Halal Training and Education Center) LPPOM MUI. Saat ini sebagai satu-satunya lembaga sertifikasi halal di Indonesia, LPPOM MUI bertanggung jawab secara penuh untuk terus melakukan edukasi, pelatihan kepada masyarakat atau khususnya kepada pihak industri yang membutuhkan adanya Sertifikat Halal (SH) pada produk mereka. Berkaitan dengan akan diberlakukannya UU JPH (Undang Undang Jaminan Produk Halal) di Indonesia. Hal tersebut mau tidak mau akan memaksa pihak industri untuk dengan jelas mencantumkan logo halal pada produk mereka, kecuali bagi produk yang memang dimaksudkan sebagai bahan haram. Tentunya untuk bisa memperoleh SH bagi Industri atau pelaku usaha, mereka wajib untuk mengetahui pengetahuan terkait dengan bahan (bahan baku ataupun bahan penolong) yang digunakan selama proses produksi. Pengetahuan mengenai titik kritis bahan di bidang pangan akan mempengaruhi atau menjadi penentu suatu produk memiliki status sebagai produk halal atau haram.
Pada proses produksi pangan yang terdiri dari beberapa tahapan (sederhana maupun kompleks), setiap penambahan bahan selama proses produksi harus memiliki ketelusuran (asal usul) yang jelas. Bahan yang digunakan selama proses produksi itu sendiri digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu; bahan tidak kritis, bahan kritis dan harus memiliki SH, serta bahan kritis namun tidak harus memiliki SH.
Suatu bahan dapat dikatakan sebagai bahan yang tidak kritis (disebut juga sebagai bahan positive list) jika bahan tersebut termasuk kedalam bahan tambang/galian, bahan kimia/sintetis, bahan nabati yang tidak memerlukan adanya proses lanjutan atau tanpa adanya penambahan bahan lain, bahan hewani (telur, susu segar, madu dan ikan), produk mikrobial yang secara proses diperoleh dengan proses alami serta beberapa jenis bahan polimer lainnya. Daftar bahan tidak kritis dijelaskan dalam SK LPPOM MUI (SK07/Dir/LPPOM MUI/I/13-rev1).
Sebagai salah satu contoh penelusuran titik kritis bahan, pada proses produksi minyak nabati (minyak kelapa, minyak zaitun, dan lainnya) penggunaan karbon aktif pada proses pemucatan minyak (tahap bleaching). Karbon aktif pada proses tersebut dimungkinkan dapat berasal dari tulang hewan. Tulang hewan yang digunakan akan menjadi penentu halal atau haramnya karbon aktif tersebut. Status halal/haram karbon aktif akan mempengaruhi status halal/haramnya minyak nabati. Meskipun karbon aktif pada proses pengolahan minyak hanya berperan sebagai bahan penolong proses, bukan termasuk bahan baku atau bahan tambahan pada proses produksi. Penjabaran tersebut akan menjadi sebuah alasan kuat mengapa minyak yang digunakan pada proses produksi juga haruslah jelas berstatus halal. Sehingga produk yang dihasilkan oleh industri atau pelaku usaha juga dapat memiliki status halal.
Pada proses produksi pangan lainnya, misalkan produksi snack/makanan ringan. Semakin banyak ingridien yang ditambahkan pada proses produksi maka semakin banyak titik kritis bahan yang harus ditelusuri. Contohnya pada penggunaan bahan berupa minyak nabati, MSG, flavor, pewarna, dan lainnya.
-
-
Penggunaan MSG pada snack memiliki titik kritis pada proses produksi asam glutamat. Produksi glutamat dihasilkan dari produksi mikroba yang membutuhkan media fermentasi, penggunaan media fermentasi haruslah berasal dari bahan halal.
-
Penggunaan flavor memiliki lebih banyak titik kritis, salah satu titik kritis dikarenakan adanya penggunaan asam amino sistein. Asam amino sistein diperoleh dari bagian bulu atau rambut hewan.
-
Penggunaan pewarna juga membutuhkan adanya bahan pelarut yang digunakan, bahan pelapisnya, hingga bahan pengemulsi. Bahan pelarut dapat menggunakan bahan etanol, triacetin atau gliserin. Gliserin salah satunya dapat dihasilkan dari proses hidrolisis lemak hewani. Bahan pelapisnya dapat menggunakan sumber gelatin, umumnya berasal dari gelatin hewani. Bahan pengemulsi dapat menggunakan turunan asam lemak yang berasal dari asam lemak hewani.
-
Penelusuran mengenai titik kritis bahan menjadi suatu kemampuan analisis tersendiri yang dibutuhkan oleh seorang sarjana teknologi pangan. Sarjana teknologi pangan merupakan salah satu lulusan program studi yang diharapkan mampu menitikberatkan keilmuan yang dimilikinya mengenai bahan pangan dan proses produksi pangan untuk menelusuri titik kritis suatu bahan.
Program studi teknologi pangan Universitas Al Azhar Indonesia berfokus pada pengembangan produk pangan halal dengan mengedepankan prinsip entrepreneur. Maka kemampuan analisis dari seorang lulusan teknologi pangan dalam menciptakan inovasi atau diversifikasi pada produk pangan harus memperhatikan penggunaan bahan bahan yang memiliki titik kritis halal. Pada bidang industri lulusan teknologi pangan dengan kemampuan analisis semacam ini juga sangat diperlukan mengingat hampir seluruh dunia saat ini berfokus memproduksi produk halal untuk konsumen muslim. Peluang karir sekaligus tantangan bagi lulusan teknologi pangan di masa mendatang semakin bertambah, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi dan kebutuhan pangsa pasar.